MARI KITA BELAJAR DARI DUNIA GELUD DAHULU
Saya yakin hampir semua dari pembaca ini tahu, acara Professional Wrestling (WWE, All Elite Wrestling, New Japan Pro Wrestling, dll.) adalah acara settingan. Bukti paling mudahnya, promotor-promotor tersebut pasti punya yang namanya tim Creative Writer yang menentukan jalan cerita dari pertarungan antara satu superstar dengan yang lain, siapa yang akan menang dan bagaimana dia menang. Salah satu yang cukup terkenal adalah Stone Cold Steve Austin menentang bos WWE, Vince Mcmahon. Cerita yang disuguhkan dapat diterima oleh mayoritas orang karena semua orang pasti merasa relate dengan perasaan "kesal terhadap bos yang sok ngatur". Apa mungkin cerita seperti itu bisa dipertontonkan di TV jika tidak settingan?
|
Stone Cold Steve Austin menentang Vince Mcmahon |
Tapi berbeda dengan UFC. Hampir semua orang menganggap bahwa acara ini adalah murni pertandingan gelud profesional. Namun tunggu dulu, bagi yang suka nonton UFC, pasti kenal fighter yang namanya Colby Covington. Buat yang belum tau, Covington adalah salah seorang fighter beladiri campuran yang sangat berbakat. Per Juni 2021, dia adalah fighter UFC #1 di kelas welterweight. Dilihat dari statistiknya, dia sangat sedikit mengalami kekalahan. Tapi disisi lain, dia memiliki gaya permainan yang membosankan. Kisah hidupnya di luar octagon juga tidak memiliki nilai jual sehingga pada waktu itu boss dari promotor UFC, Dana White mengatakan akan menghentikan kontrak dengan Colby Covington.
Mungkin jika kita Covington tentu saja menjadi sangat galau. Masa kita udah mendedikasikan hidup untuk jadi atlet lalu kehilangan karir begitu saja. Karena itu, dia membuat strategi yang sangat straegis, tapi disisi lain sangat beresiko. Strateginya adalah dia membuat kontroversi dengan menjadikan dirinya penjahat, menjelek-jelekan pihak lain, menciptakan kerusuhan dan menciptakan isu rasial. Salah satunya adalah pada tahun 2017 setelah mengalahkan juara senior dari brazil, Demian Maia, dia mengatakan bahwa Brazil adalah negara buangan dan orang-orang yang ada di dalamnya tidak jauh dari binatang.
|
Drama seperti Covington juga banyak terjadi misalnya pada pertarungan Khabib Nurmagomedov vs Connor McGregor. |
Tetapi dari sanalah karirnya diselamatkan. UFC akhirnya melanjutkan kontraknya. Yang jadi masalah adalah saat itu ada banyak jagoan UFC yang ingin bertarung dengan Covington karena dianggap rasis dan semakin banyak penggemar yang menginginkan nonton Covington kalah. Sehingga saat itu nilai jual dari Covington sangat tinggi karena banyak yang ingin menyaksikan dia kalah. Ketika dia menunjukan bahwa di setiap event dia menang, semakin tinggi bayaran, semakin banyak yang ingin melawan dan semakin histeris orang-orang yang ingin menyaksikan kekalahan.
|
Tidak ada berita pun kita sepakat bahwa pertandingan tersebut sangat menarik perhatian dan menguntungkan. |
Covington yang sekarang sepertinya sudah mulai menikmati polanya dan mendapatkan uang yang sangat banyak, kontrak diperpanjang dsb. dan semua orang hampir percaya bahwa dia sepenuhnya jahat. Sampai akhirnya, Colby dikalahkan Kamaru Usman. 2x dia bertarung dan keduanya kalah, di akhir pertandingan dia bilang bahwa “ini semua adalah bisnis". Cukup banyak orang yang terbuka mata hati dan pikirannya bahwa semua yang diucapkan Covington adalah demi mempertahankan karirnya sehingga tidak sedikit yang memaklumi. Tapi tetap saja lebih banyak yang terpengaruh dan rasa bencinya sampai ke ubun-ubun.
|
Hal tersebut masih berlangsung sampai saat ini |
Tentu saja hal ini tidak terjadi dengan dunia pergeludan saja. Olahraga lainnya seperti sepak bola, Moto GP, F1 atau dunia hiburan sampai dunia politik pun terjadi demikian.
KENAPA FENOMENA INI TERJADI?
Sebelum beranjak, mari kita sepakati bersama bahwa ada 2 macam manusia yang ada di dunia ini yaitu orang yang sebut sebagai "golongan yang berpikir" yaitu golongan orang yang sudah tau cara kerja dunia, bisa mengelola emosi diri dan mampu memanfaatkan itu dan orang yang kita sebut sebagai "golongan terpengaruh" yaitu entah tau cara kerja dunia atau tidak, orang tersebut lebih sering tidak dapat mengelola emosi dan menjadi bagian dari orang yang dimanfaatkan. Deal ya? Deal
Ok kembali ke topik, kenapa fenomena tersebut terjadi? Hal ini tentunya berkaitan dengan psikologis manusia tidak terkhusus, pada "golongan terpengaruh" saja, namum pada semua golongan. Setidaknya ada 4 hal yang paling penting dan paling mempengaruhi fenomena tersebut :
1. Manusia secara naluriah lebih tertarik dengan sesuatu yang bersifat negatif. Makanya yang sensasional, kontroversial, viral, yang lain sejenis itu selalu menarik perhatian, itu sudah Sunatullah. Hal yang seperti itu karena gampang dicerna dan menghibur. Sehingga baik di Indonesia maupun luar sana, pada dasarnya edukasi tidak akan menimbulkan kesenangan. Perbedaanya adalah mayoritas masyarakat Indonesia sudah terjebak pada kemalasan berpikir.
2. Manusia secara naluriah memiliki empati dan emosi. Hal hal yang dapat menggugah emosi ditambah dengan ketertarikan manusia terhadap hal negatif merupakan combo yang sangat ciamik
3. Adanya kecenderungan manusia untuk kehilangan logika dan akal sehat terhadap sesuatu yang terlalu disukai atau dibenci. Misalnya saja jika manusia terlalu belebihan dalan menyukai sesuatu, dia bisa membela mati-matian dan serasa tidak ada hal buruk dari yang disukainya. Begitu juga dengan sesuatu yang dibenci berlebihan
4. Manusia punya masa ingatan. Artinya apabila suatu kejadian berlangsung cukup lama, lambat laun orang-orang akan melupakan hal tersebut. Jadi apabila kita membuat sesuatu yang cukup memalukan atau sangat buruk secara moral, suatu hari orang akan lupa akan hal tersebut. Oleh karena itu, harus selalu ada 'kegiatan baru' supaya masa lalunya dilupakan sekaligus tetap eksis.
Dan pada akhirnya, keempat hal diatas dapat dimanfaatkan oleh "golongan yang berpikir" untuk sebuah kepentingan.
PEMANFAATAN FENOMENA INI DALAM BISNIS
Sebenarnya, pola-pola seperti ini sudah diaplikasikan sejak dahulu kala dan dimanfaatkan untuk kalangan kelompok "golongan yang berpikir". Banyak sebenarnya kejadian-kejadian yang hampir serupa, tentu saja tujuan akhirnya adalah bisnis. Beberapa diantaranya misalnya:
1. Dalam hal jurnalistik, kita mengenal namanya istilah "bad news is a good news". Jurnalis akan selalu mencari kejadian buruk, tidak jauh dari saling ejek, mengadu domba, menampilkan public enemy, membuat penasaran dan sebagainya. Pembuatan berita baik atau buruk itu capeknya sama, biayanya sama. Kalau sama, kenapa tidak dibuat berita yang banyak mendatangkan pembaca/penonton? Karena banyak enggagement, tentu saja secara akan menarik untuk sarana iklan bukan? Jatuhnya adalah menguntungkan pembuat berita, yang memanfaatkan berita tersebut dan sejenis itu.
Makanya, banyak sekali sekarang ini dalam berita seringkali antara judul dan isi berita tidak nyambung, dan seringkali menggunakan keyword seolah-olah itu kejadian yang luar biasa padahal misalnya kalau tanpa kata itu beritanya biasa aja. Contoh “Terkuak, ternyata inilah nama asli Baim Wong yang ternyata adalah…” Karena pada saat itu Baim Wong menjadi pihak yang menjadi public enemy karena 'menghina kakek-kakek'. Padahal siapa yang tahu kalau Baim Wong, sang kakek, Nikita Mirzani, Deddy Corbuzier, pihak-pihak terkait dan para aktor intelektual sudah merencanakan hal tersebut dengan role Baim Wong sebagai tokoh jahat. Toh ini bisa juga jadi ladang pencaharian banyak orang yang sejenis, yang mampu memanfaatkan kondisi semisal perusahaan media kecil dan youtuber kecil.
2. Dalam dunia entertainment, lebih banyak lagi. Banyak entertainer yang namanya melambung berkat adanya kontroversi yang dibuat baik dengan sengaja atau tidak (dan hampir semuanya adalah sengaja). Dalam entertainment, hampir segala kontroversi yang muncul di TV atau berita sebenarnya adalah setingan. Tapi ya wajar saja, namanya sendiri adalah bisnis pertunjukan. Tentu saja setingan tersebut akan lebih mantab jika memanfaatkan seluruh prinsip psikologis manusia tersebut.
Konten entertainment inilah yang pada akhirnya sering dimanfaatkan "golongan yang berpikir". Misal untuk hal yang akhir-akhir ini viral :
- Dalam kasus Will Smith menampar Chris, banyak yang menduga bahwa kasus tersebut adalah akibat dari Chris yang 'tidak bisa menjaga mulutnya'. Banyak netizen mancanegara yang mendukung atau menyayangkan tindakan Will Smith. Netizen Indonesia pun banyak yang berkomentar "ini bukan setingan kayak di Indonesia". Padahal apabila dibreakdown, sebenarnya sama saja dengan yang ada di Indonesia. Yang membedakan hanyalah hampir semua pihak secara sempurna menjalankan sesuai dengan role masing-masing sampai hanya ada sedikit yang sadar. Apakah orang tidak tau dengan kejanggalan semisal bahwa sebelum acara yaitu ketika acara rehearsal atau gladi bersih, Will Smith sudah mendengar terlebih dahulu jokes dari Chris dan biasa saja, Will Smith juga hanya menampar dalam arti tidak memukul sampai membuat KO atau pingsan, dan tidak ada pelaporan ke penegak hukum dan sejenis itu.
- Tantangan Vicky Prasetyo kepada Deddy Corbuzier yang mana berakhir pada pertandingan tinju Azka Corbuizer melawan Vicky Prasetyo. Vicky dalam dunia entertainment sudah menjalankan role nya sebagai tokoh buruk yang menjadi musuh masyarakat dan Azka sebaliknya. Walaupun pertandingannya tidak seru, tapi sampai tulisan ini dibuat sudah ditonton 25 juta orang atau hampir 10% warga Indonesia. Yang tentu saja sangat menguntungkan pihak yang bertarung, media, channel Deddy Corbuizer, dan sponsor yang durasi tayangnya justru jauh melebihi durasi geludnya sendiri.
- Banyaknya afiliator situs judi, artis, pengacara, pengusaha, dan masih banyak lagi yang menggunakan metode flexing untuk tujuan pribadinya. Hal yang baru-baru ini diketahui misalnya adalah yang dilakukan oleh Indra Kenz yang sudah bekerjasama dengan pemilik toko mobil mewah "prestige", Rudy Salim, dimana Indra Kenz seolah dengan mudahnya melakukan pembelian beberapa mobil mewah. Hal serupa juga sering dilakukan oleh banyak tokoh lainnya misalnya Doni Salmanan, Wirda Mansur, Hotman Paris, Rans Entertainment dan masih banyak lagi.
- Nggak akan saya sebut lagi karena sudah terlalu banyak
3. Dalam dunia politik, ada kubu yang terpecah-pecah. Anggap saja pada tahun 2018-2019 disaat masyarakat Indonesia masih dibilang masih banyak yang pro Jokowi-Makruf atau Prabowo-Sandiaga yang mana kedua kubu tersebut banyak yang sampai rumah tangganya berantakan hingga mati konyol hanya untuk mendukung tokoh politik tersebut. Tokoh-tokoh politik ini diluar terlihat seperti bermusuhan, padahal dibalik itu kedua tokoh tersebut sangat akur bahkan kedua tokoh tersebut bersama kroninya memiliki perusahaan bersama. Tapi apa daya, teknik Appeal to Emotion digunakan. Bagaimanapun kebencian adalah baik untuk bisnis dan politik. Sama seperti cinta, kebencian dapat mengumpulkan orang dengan pemikiran sempit yang sangat besar dalam satu kesatuan dan menjadikan orang dalam satu kawanan.
PENUTUP
Jika pembaca sudah membaca sampai sini, selamat ada banyak pengetahuan baru yang didapatkan. Saya tidak akan menulis apa kesimpulan dari tulisan tersebut, tapi saya yakin maksud yang saya sampaikan bisa terserap. Semoga bermanfaat.
Penulis : Mahendrayana Setiawan Triatmaja