Kenapa Indonesia jarang memproduksi Film genre Action, Kriminal atau Detektif dan Science Fiction ?

Kenapa Indonesia jarang memproduksi Film genre Action, Kriminal atau Detektif dan Science Fiction ?
Jujur saja, variasi genre film di Indonesia masih terbatas di beberapa genre : Drama, Romance, Komedi dan Horor. Jarang sekali kita menemukan film bergenre Action, Kriminal atau Detektif dan Science Fiction yang benar-benar murni buatan Indonesia.
Ada memang, tetapi tidak banyak dan biasanya nggak terlalu dikenal. Misalnya saja yang kita kenal adalah The Raid, Headshot, Foxtrot Six (untuk genre action), Marina dan Pembunuh 4 Babak (Untuk genre criminal atau detektif), Rafathar (untuk Science Fiction). Ternyata film tersebut tidak banyak menarik minat para produser untuk memproduksinya kembali. Beberapa faktor utama adalah sebagai berikut :

1. Keuntungan

Tidak munafik dan tidak bisa dipungkiri, tujuan utama produser film menginvestasikan uangnya dengan cara memproduksi film adalah mencari keuntungan. Tentu saja produser tidak semata-mata mau menggelontorkan uang tanpa ada sesuatu yang menguntungkan dirinya bukan? Harus ada sesuatu yang kembali kepada dirinya dan tentu saja hal tersebut adalah cuan. 

Film-film dengan genre tersebut tidak terlalu menarik minat produser film di Indonesia karena biaya produksi yang dikeluarkan untuk film genre tersebut cukup besar tetapi pendapatan dari penjualan tiket tidak terlalu banyak. Sementara bila budget itu digunakan untuk membuat film remaja, drama keluarga, romantika, horor, dan komedi itu amat sangat kecil namun kemungkinan bisa meraih jumlah penonton yang lebih banyak. 

2. Biaya Produksi yang tinggi


Mari kita hitung-hitungan terlebih dahulu. Kita ambil saja The Raid 2: Berandal yang rilis di tahun 2014 sebagai contohnya. Berdasarkan informasi yang umum kita lihat, biaya film pembuatan film The Raid 2: Berandal sekitar 54 miliar rupiah. Hal tersebut menjadikan sebagai salah satu film Indonesia termahal hingga saat ini. Ketika tayang di Indonesia, film The Raid 2: Berandal hanya mampu mendatangkan 1.434.272 penonton atau bila diuangkan dengan rata-rata harga tiket di tahun tersebut adalah Rp.30.000,- rupiah, maka akan dapat sekitar Rp.43.028.160.000,- atau digenapkan 43 miliar rupiah. Tapi tentunya pihak produser tidak menerima sebesar itu, karena angka tersebut adalah angka yang amat sangat kotor. Masih belum dikurangi dengan pajak, jatah untuk pihak bioskop, lalu karena diedarkan worldwide tentu ada potongan buat distributor, dan sebagainya. Untungnya film ini diedarkan di worldwide sehingga ditotal masih ada pendapatan kotor sekitar 27.4 miliar rupiah.

Mari kita bandingkan dengan Film Comic 8 yang disutradarai oleh Anggy Umbara. Film ini bergenre komedi dan berhasil mendatangkan 1.624.067 penonton selama pemutarannya di Indonesia. Film Comic 8 ini diproduksi dengan biaya hanya sekitar 8 miliar rupiah, dan bila harga tiket rata-rata di tahun tersebut adalah Rp.30.000,- maka pendapatan kotor film berada di kisaran angka Rp48.722.010.000 atau 48.7 miliar. Keuntungan kotor yang dihasilkan dari film Comic 8 setelah dikurangi biaya produksi itu sekitar 40.7 miliar rupiah. Jadi bisa terlihat perbedaannya antara genre Action dan Komedi, dimana film The Raid 2: Berandal dengan budget 54 miliar rupiah menghasilkan pendapatan kotor 27.4 miliar rupiah, sementara film Comic 8 hanya mengeluarkan 8 miliar rupiah tapi memberikan keuntungan kotor hingga 40.7 miliar rupiah. Walaupun jumlah tersebut masih kotor, tetapi jika dihitung lebih lanjut, pendapatan bersihnya masih jauh diatas modalnya. 

3. Proses pembuatan yang sulit dan lama


Sering ketika menonton film Indonesia kita berpikir “Lah, kalo cuma bikin film kaya gitu aja ane dan tim ane juga bisa”. Memang, jika dianalisa, beban dan tingkat kesulitan pembuatan film genre mainstream di Indonesia hanya perlu bermodalkan akting dan pengolahan emosi saja. Seluruh shooting pun bisa selesai dengan waktu yang tidak lebih dari seminggu. Dan yakin deh, seluruh orang Indonesia yang sudah mempelajari dasar akting, pembuatan film dan modal separuhnya aja, udah bisa melakukannya dengan cepat dan memiliki kualitas yang sama bahkan lebih baik.

Tentu saja berbeda untuk film dengan genre action, detektif atau science fiction. Apalagi jika film bergenre gak mainstream tersebut melibatkan adegan perkelahian, kejar-kejaran mobil dan motor, tabrak-tabrakan, ledakan, tembak-tembakan, tusuk-tusukan, bacok-bacokan, tawuran massal, dan lain sebagainya yang memerlukan adanya koreografi di dalam tiap scene. Jadi harus ada latihan dulu di preproduction yang melibatkan para pemain, stuntman dan pengarah koreografinya, lanjut gladi bersih sebelum mulai take saat production, dan seterusnya. 

Belum lagi ketika proses produksinya. Shooting yang berpindah-pindah, mobilisasi dan demobilisasi crew serta, proses menunggu pemasangan alat-alat seperti lightning dan dekorasi, penggunaan props yang cenderung tidak reusable dan biasanya hancur-hancuran dan sekali pakai. Misalnya properti tersebut hancur dan take harus diulang, tentu persiapannya lagi akan memakan waktu. Terkadang dalam satu scene saja, proses pengambilannya sampai berhari-hari karena sangat rumit dan melibatkan banyak angle gambar.

Ditambah dengan paska produksinya, yang mana sering terdapat keluhan dari para editor yang bebannya ditambah dengan shoot yang kurang sempurna. Dan tentu saja penggarapan film yang gak mainstream tersebut menggunakan visual effect atau CGI yang lebih banyak dan rumit dibandingkan film-film mainstream. Akibatnya, film-film ini akan jadi jauh lebih lama. Dan tidak jarang proses paska produksi ini diburu-buru oleh produser untuk kebutuhan kejar tayang sehingga hasilnya terkesan kurang maksimal dan apa adanya.

4. Perlakuan pasca distribusi


Tidak hanya produser, bukan rahasia lagi kalo pihak bioskop pun melakukan praktik yang sama. "Buat apa beli dan menayangkan film lokal yang paling ga laku-laku amat. Mendingan beli film Hollywood yang jelas-jelas banyak yang nonton, penjualan naik". 

Genre-genre yang gak mainstream pun biasanya juga mendapatkan grade B dalam hasil penilaiannya. Bahkan dianggap hanya layak untuk orang dewasa sehingga terkadang mendapat rating 21+ sehingga membatasi jumlah penonton yang akan menonton film nya.

Film yang gak mainstream biasanya hanya boleh tayang di jam-jam yang sekiranya gak banyak yang nonton.  Misalnya saja jam-jam malam banget, atau siang-siang di jam kerja. Hal ini sering sekali terjadi terutama kalo pas dapet jadwal rilis berbarengan dengan film-film Hollywood. Dan bioskop yang menayangkan pun cuma bioskop-bioskop kecil yang ada di mall-mall sepi.

Walaupun seperti itu, sebenarnya ada cara agar film tersebut bisa tayang di bioskop-bioskop besar dan ramai. Tentu saja hal ini perlu promosi yang besar-besaran dan tentu saja ujung-ujungnya duit. 

5. Selera orang Indonesia


Yang terakhir tentu adalah pasar di Indonesia sudah terbiasa dengan film-film yang ringan dan genre yang dianggap “manusiawi”. Bahkan sebagian orang Indonesia pun tidak biasa dan tidak tahan dengan adanya kekerasan, darah, ledakan, pertarungan, maakluk aneh, dunia yang gelap nan sempit, dan sejenisnya. Sehingga ketika mengetahui film tersebut dirilis justru semakin tidak ada minat sedikitpun untuk menontonnya. Nggak hanya itu lho, terkadang film romantis hasil konversi novel itu lebih memenuhi asupan gizi para pasangan muda-mudi yang lagi mesra-mesranya. Mayoritas dari mereka akan lebih memilih film romantis atau justru horor untuk berkencan di bioskop. Atau ibu-ibu yang terbiasa menonton sinetron akan lebih memilih drama dibandingkan dengan genre-genre tersebut. 


Konklusi


Kreativitas sebenarnya tak selalu berbanding lurus sempurna dengan budget (uang).  Kita punya kok film-film yang memiliki genre tidak biasa tapi tetap bagus bagus. Masih ingat  “Battle of Surabaya” ? Animasi ini seolah-olah animasi impor, tapi Indonesia punya. Mau contoh genre sci-fi yang matang tapi budget sangat minim? saya melihat ada film pendek Indonesia, salah satunya berjudul “The Medical Kit”. Film tersebut pernah memenangkan salah satu festival film. Special effect nya halus sekali, ada bumbu action yang tak kaku, dan nuansa sci-fi yang tidak memaksakan diri. Marina dan Pembunuh 4 Babak pun juga tidak kalah, bahkan film ini malah sudah mendapatkan banyak penghargaan baik penghargaan dalam negeri maupun di kancah Internasioanal.

Artinya apa? sebenarnya film-film bergenre gak umum seperti action, kriminal atau sci-fi itu nggak selalu berbiaya mahal. Kita sendiri sebenarnya bisa membuat film-film tersebut. Bahkan kita sendiri punya prestasi yang luar biasa dalam memproduksi film di genre kriminal. Masalah selera? Salah satu cara membuka pola pikir penonton Indonesia agar tidak terbiasa dengan genre gak mainstream adalah dengan memberikan suguhan film dengan genre mainstream namun dengan suguhan cerita berbeda kepada penggemar film Indonesia secara terus menerus. Dengan begitu maka banyak film Indonesia yang dibuat genre tidak biasa, dan penonton menjadi terbiasa menonton film dengan genre tersebut. Hanya saja untuk di masa sekarang ini, ketika penonton film Indonesia sudah semakin kritis, maka film tersebut harus tetap berkualitas secara cerita, gambar, dan sebagainya.

Saya meyakini bahwa suatu hari nanti ada saatnya industri film Indonesia bisa memberikan banyak alternatif jenis film yang berkualitas dengan genre gak mainstream. Mendukung film lokal berarti kita mendukung sebuah proses kreatif yang panjang. Untuk sineas, jangan takut untuk berkarya, jangan berharap keuntungan saja untuk berkarya, agar kita bisa menghasilkan karya yang beda namun luar biasa.



Author: Mahendrayana.st

0 comments