MENGAPA IKLAN ROKOK TIDAK MENAMPILKAN ROKOKNYA?


Kenapa iklan rokok bisa tampil dengan ide kreatif, lucu, menghibur, bikin mikir, sekaligus tidak nyambung dengan produknya (tidak menampilkan produk) ? Apakah pembaca cinematic.id juga berpikiran seperti itu ketika melihat komunikasi iklan rokok apapun itu bentuknya? Kampanye iklan rokok selalu penuh dengan ide-ide segar, kreatifitas, visual menarik serta slogan yang menggelitik. Memang lucu, seru dan kreatif, tapi mana penampakan rokoknya? apa hubunganya sama produknya?
Bagi yang awam dengan ilmu komunikasi dan tidak berkecimpung di dunia marketing, strategi ini terasa aneh dan justru terlihat kontra produktif. Iklan kan harusnya jualan produk, kok produknya nggak ada? Kenapa iklan rokok justru hanya menampilkan sesuatu yang tidak jelas bahkan tidak pernah menampilkan produknya? Oleh karena itu kita akan belajar mengenai hukum atau regulasi dan teknik komunikasi dari iklan rokok.

REGULASI DALAM IKLAN ROKOK

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Sebagai warga negara Indonesia secara umum, kita wajib untuk tunduk pada Pancasila, UUD 45, dan turunannya. Khusus dalam mengiklankan produk tembakau, hal tersebut diatur di Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tepatnya di pasal 27 yang berbunyi “tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan wujud atau bentuk Rokok atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merek Produk Tembakau”. Untuk mempelajarinya, bisa membuka link berikut:


Pasal 27 PP 109/2012



Etika Pariwara Indonesia

Di dunia ilmu komunikasi, kita mengenal namanya Etika Pariwara Indonesia. Sebuah komunikasi produk harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi miss communication, misleading, bahkan membahayakan. Etika Pariwara Indonesia sendiri adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang diatur berdasarkan regulasi-regulasi yang ada dan telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembanngannya. Oleh karenanya, apabila kita memiliki bisnis yang bergerak khusus di bidang komunikasi, periklanan dan sejenisnya, hukumnya wajib kita mengetahui tentang hal ini. Untuk mempelajarinya, bisa langsung klik link berikut:

Etika Pariwara Indonesia Amandemen 2020

Untuk produk yang umum saja kita harus mengikuti etika yang telah ditetapkan. Misalnya kita tidak boleh menggunakan visual menyesatkan atau menggunakan kalimat atau slogan superlatif, seperti “termurah”, “terlaris”, dan ter ter lainya. Apalagi untuk produk-produk yang memerlukan pengawasan yang ketat seperti minuman keras, obat-obatan hingga produk olahan tembakau. Produk-produk tersebut pasti regulasinya akan dibuat seketat mungkin. Dalam hal kita mendapatkan tugas untuk membuat iklan rokok, kita harus berpegang salah satunya pada Etika Pariwara Indonesia butir 2.2.2 huruf c yang bunyinya “iklan rokok dan produk tembakau tidak memperagakan atau menggambarkan orang sedang merokok, atau mengarah pada orang yang sedang merokok”, yang apabila kita telaah lebih dalam, menunjukkan asap pun tidak boleh. 

 
Panduan iklan rokok
Panduan dalam mengiklankan rokok


Jadi, Iklan Rokok Dibatasi?

Sebenarnya ada banyak regulasi yang mengatur tentang cara mengiklankan rokok. Namun cukup melihat 2 peraturan di atas saja kita dapat menyimpulkan bahwa dalam merumuskan bentuk promosi produk untuk iklan di televisi atau media massa, brand rokok sangat dibatasi. Mungkin jika pernah merasakan hidup di tahun 90an, kita masih bisa melihat iklan rokok yang secara terang terangan menunjukan produk rokok dan orang merokok. Namun setelah adanya regulasi tersebut, kita mulai asing dengan iklan seperti itu. Regulasi tersebut dibuat tentunya dibuat dengan pertimbangan dari ahli pemasaran dan pengusaha terkait. Akan tetapi dalam industri kreatif, dibatasi secara satu arah pun, otak kita malah akan jadi lebih encer. Entah itu dalam merumuskan sesuatu yang benar-benar unik dan baru, menyusun strategi baru atau mencari cara bagaimana mencari celah untuk tetap melakukan hal tersebut namun dianggap tidak melanggar regulasi tersebut.
 
Iklan rokok jadul sebelum ada regulasi

MENGAPA IKLAN ROKOK MULAI BANYAK YANG MEMILIKI PESAN ATAU CERITA MENGEDUKASI DAN MENGINSPIRASI?

Sasarannya Bukan Perokok

Produk yang dapat menyebabkan ketagihan atau kecanduan, pada dasarnya tidak memerlukan lagi iklan untuk mempertahankankan konsumen. Jika orang sudah ketagihan rokok, dia tidak begitu perlu bujukan iklan lagi untuk merokok. Bahkan beberapa anjuran yang bersifat menakut-nakuti pun hampir tidak berdampak. Tulisan sejenis "merokok membunuhmu", akan dicounter dengan "hidup mati Tuhan yang mengatur, bukan rokok". Sebaliknya, perusahaan rokok bisa memanfaatkan konsumen menjadi iklan gratis berjalan, dengan cara menganjurkan merek tertentu sebagai rokok yang "enak", atau menjadi tukang bagi sampel gratis antar teman yang pada akhirnya ada penambahan jumlah konsumen. Apalagi sekarang lagi banyak sekali influencer atau artis yang merokok dan tidak hanya sekali mereka menunjukan diri di media sedang menikmati rokok. Hal tersebut juga dapat merekonstruksi pola pikir konsumen.

Publik figur yang merokok di media


Oleh karenanya, sasaran iklan rokok sebenarnya adalah para remaja yang bukan perokok. Kaum yang masih mencari identitas diri. Jika kaum remaja bisa dijadikan perokok, maka perusahaan rokok sudah mendapat pelanggan tetap selama paling tidak sekitar 30-50 tahun yang akan datang, atau waktu efek negatif rokok mulai bermanifestasi. Para remaja memiliki jiwa lebih dinamis. Mereka suka sesuatu yang baru. Mereka penantang kemapanan. Jika sesuatu sudah ketinggalan zaman, remaja akan menepisnya. Kebanyakan remaja adalah orang yang mudah terdorong oleh rasa gengsi akan mudah terjebak pola pikir seperti ini. Iklan konvensional tidak bakal menarik perhatian remaja.

Dana Yang Besar

Perusahaan rokok mana yang pemilik saham mayoritasnya bukan orang kaya? Ya karena perusahaan rokok adalah bisnis yang sangat menjanjikan. Bisa dibilang semua perusahaan rokok bahkan skala home industri pun nyaris tidak pernah rugi. Dengan dana yang begitu besar, sangat mudah sekali untuk mendukung kreativitas khususnya kreatornya dalam pembuatan iklan. Ditambah lagi aturan dari pemerintah bahwa rokok dilarang menayangkan iklannya pada jam prime time. Perusahaan rokok pun pada akhirnya tidak perlu beli slot prime time yang cukup menguras biaya. Biaya yang biasanya dipakai untuk beli slot prime time bisa dimaksimalkan untuk konten iklan yang sesuai dengan insight konsumennya. 
 

Metode Komunikasi Produk

Sebenarnya ada 2 cara untuk mengkomunikasikan sebuah produk :
  • Jual Fungsinya (hard selling)
  • Jual Emosinya (soft selling)

Untuk yang no. 1, tentu saja kita bisa menawarkan langsung barang yang kita jual beserta solusi apa yang diberikan dari produk tersebut secara fungsional. Misalnya dalam menjual kaos, kita bisa langsung menawarkan bahwa produk kita bahannya bagus, enak dipakai, tidak gerah, model trendy, dan sebagainya. Atau dalam iklan kopi, kita bisa langsung menawarkan bahwa kopi tersebut kualitas terbaik, strong, bisa bikin melek sampai sekian lama, tidak bikin deg-degan atau semacamnya. Itu sangat umum dan standar dalam mengomunikasikan sebuah produk. 
 
Contoh iklan hard selling

Permasalahan akhirnya timbul, yang menjual produk tersebut bukan hanya kita, tetapi ada jutaan kompetitor yang lain. Kalau misal kompetitor kita juga menjual dengan cara yang sama, apa yang bisa membedakan produk kita dengan yang lain? Pada akhirnya, fungsi dalam suatu produk akan sama, bahkan mungkin kualitas kita ternyata di bawah produk kompetitor. Yang bisa membedakan adalah apa yang dirasakan pada saat menggunakan produk tersebut. Saat menjual dan mengomunikasikan produk secara langsung sudah tidak masuk akal, entah karena secara kualitas atau kuantitas kita kalah dengan kompetitor, atau malah terhalang regulasi, saat itulah waktu yang tepat untuk menggunakan cara no. 2, Jual Emosinya.

Ada beberapa contoh produk-produk yang menerapkan cara no. 2 dalam menjual produknya. Kita ambil contoh dari Apple, Nike dan Coca Cola.

Apple. Sebenarnya sudah pernah saya tulis di SINI. Apple tidak menjual gadget, tetapi menjual style dan kemudahan.
 
Ngga perlu tau ini fiturnya apaan

Nike. Pernah lihat atau dengar Nike menjual sepatunya dengan bilang “sepatu kami bagus, bahan tebal, kuat, tahan lama, enak dipakai”? Tidak pernah. Yang dijual Nike adalah hidup sehat, sportivitas, positivity, winning mentality. Kita lihat dari hal lain misalnya taglinenya yaitu “just do it” atau campaign besarnya, seperti “find your greatness”, “there’s no finish line”, “you can’t be stopped”.
 
Malahan nggak pakai sepatu modelnya

Coca Cola. Walaupun ini produk minuman, tetapi tidak pernah menjual dengan bilang bahwa produk ini “meredakan haus” atau sebagainya. Produk minuman, tetapi justru yang dijual adalah kebahagiaan. Bisa dilihat dari komunikasi produknya seperti “taste the feeling”, “open happiness”.
 
Konsumen ketika minum sudah bersugesti duluan "bakal bahagia"

Attitude Branding

Teknik menjual emosi inilah yang biasa disebut Attitude Branding, yaitu melihat produk melebihi fungsi dasarnya lalu menentukan attitude apa yang ingin ditampilkan untuk membangun emotional connection. Attidude Branding dalam jangka panjang bisa membangun sebuah brand loyalty.

Ketika brand non-rokok yang diberi kebebasan lebih justru menjadi terlalu fokus dalam mengekspos produk mereka, maka jadilah para produsen rokok yang dilarang untuk melakukan itu berusaha menampilkan image para perokok yang dimulai dengan image 'pria macho, maskulin, elegan, seksi, menyukai kebebasan dan hal ekstrim’, sekaligus mengkonstruksi mindset kepada para konsumen yang didominasi oleh kaum laki-laki, seperti apabila seorang laki laki merokok ia merasa dirinya lebih manly dibanding tidak merokok, ia merasa lebih gagah dibanding tidak merokok dan sejenisnya. Pada akhirnya, terbentuklah kesan bahwa 'pria (perokok) lebih gagah, keren dan cool' daripada yang bukan perokok, seperti beberapa contoh berikut : 
 
manly

Suka tantangan!

Tetapi strategi itu dirasa cukup usang, bahkan dianggap sebagai cara perusahaan rokok dalam menganggap bodoh konsumenya dengan menawarkan doktrin-doktrin kejantanan, padahal sama sekali tidak. Oleh karena itu, belakangan ini produk rokok lebih banyak mengkomunikasikan pesan-pesan sesuai dengan karakteristik produk mereka, attidude apa yang ingin mereka bangun sesuai dengan target market. Contohnya:
 
  • Gudang Garam Internasional = menyukai petualangan
  • A Mild = anak muda yang kritis dan peka terlllhadap isu sosial dan politik
  • Sampoerna Hijau = pertemanan yang asik
 
Lalu kita bedah brief komunikasi di dalamnya agar kita lebih mendalami, kita coba bedah A Mild.

A Mild = rebel dan kritis
Target = anak muda yang kritis dan peka terhadap isu sosial dan politik
Komunikasi = menyuarakan aspirasi kritik sosial politik
 
Mengkritik boomers

Mengkritik kebebasan berpendapat

Mengkritik kebiasaan lepas tanggung jawab

Mengkritik status quo pemerintahan

Mengkritik budaya menjilat

Menurut saya inilah puncak dari kreativitas iklan rokok dari brand attitude yang justru berawal dari keterbatasan. Saat komunikasi tentang produk dibatasi, yang muncul adalah kreativitas untuk menyuarakan aspirasi. Coba lihat campaign-campaign A Mild, mulai dari “bukan basa basi” yang membahas isu sosial yang tengah terjadi, berlanjut dengan campaign “tanya kenapa” yang mempertanyakan hal-hal yang dianggap tabu atau mengajak kita berpikir, atau “go ahead” yang memberi semangat untuk melakukan apapun yang kita anggap benar dan tidak usah peduli orang lain.

Strategi ini sangatlah efektif. Menurut saya, iklan-iklan rokok dengan tema seperti ini jauh lebih diingat dan unggul dari berbagai iklan produk lainnya. Premis awal dari pertanyaan ini saja, mungkin sudah cukup untuk menjadi salah satu bukti dari keunggulan iklan-iklan tersebut. Tetapi tentu saja perusahaan juga melakukan penjualan fungsi secara langsung. Ada banyak celah agar tidak melanggar regulasi tersebut, tentu saja salah satunya adalah dengan marketing lapangan. Kalau yang pernah baca novel “Gadis Kretek”, sales rokok wanita ternyata sudah ada di Indonesia sejak zaman moncer-moncernya rokok kretek.
Rokoknya kak

Kesimpulan

Dari iklan rokok kita bisa belajar bahwa menyentuh empathy dari target market kita adalah cara efektif. Meskipun tentunya perlu kreatifitas yang lebih besar jika dibandingkan dengan menyampaikan pesan secara gamblang dari awal. Mengerti betul siapa target, apa yang dirasakan dan apa yang menjadi keresahan target bisa menjadi awalan sebelum memulai mengomunikasikan produk kita. Ini sebenarnya tak hanya bisa kita aplikasikan pada marketing produk dan jasa, namun bisa juga kita pakai dalam menyampaikan pesan seperti misalnya iklan layanan masyarakat.
 
Author: Mahendrayana Setiawan Triatmaja

0 comments