Jaman sekarang segalanya serba online. Mulai dari sekolah, kerja bahkan cari jodoh semuanya online. Sebenarnya ini bukan efek pandemi, tapi kemajuan teknologi yang membuat perubahan ini menjadi radikal. Pandemi bisa dibilang hanya sebagai ‘booster’ saja sehingga menjadi kesempatan untuk memaksa orang-orang harus beradaptasi dengan teknologi. Memang, aplikasi pencari jodoh semacam Tinder mulai jadi salah satu cara untuk mencari pasangan hidup. Bisa dibilang ini ‘Take Me Out Online’ lah sehingga bertemu calon pasangan tidak perlu dilakukan secara konvensional. Sebenarnya banyak banget kok cerita-cerita romantis yang sukses dari aplikasi online ini, termasuk teman-teman di sekitar saya yang sudah menikah berkat aplikasi ini. Tapi juga lumayan banyak yang punya cerita yang berbeda, contohnya seperti cerita yang ada di Tinder Swindler.
Film ini mengisahkan tentang kisah realitas seorang bernama Simon Leviev lewat aplikasi Tinder. Secara teknis sih, aplikasi Tinder ini adalah media sosial mirip Instagram tapi fungsinya untuk menemukan pasangan. Jujur sih sebenarnya saya bukan user, saya pun baru instal aplikasi ketika nonton film ini karena penasaran. Karena ini adalah aplikasi cari jodoh, sudah sewajarnya orang-orang ini memajang foto terbaiknya untuk memikat calon pasangannya. Hal yang paling gampang sih seperti orang-orang di sekitar kita yang sering upload saat mereka di Starbucks, di kafe atau restoran mewah, atau sejenis itu deh, yang jelas seperti tidak ada orang miskin di dunia ini (kecuali yang emang kebiasaan upload foto Human Interest spesialis orang miskin). Begitu juga di Tinder Swindler, si Simon Leviev ini menampilkan kemewahan dengan foto di jet pribadi, mobil mewah, jam tangan mahal, baju branded, liburan ke luar negeri dan kenikmatan duniawi lainnya. Ya wanita mana sih yang enggak tertarik dengan yang seperti ini? Tidak munafik lah ya kalo wanita-wanita pasti memimpikan punya pasangan orang super kaya, pangeran dari kerajaan bisnis besar, baik, memperlakukan pasangan bak ratu, apalagi wajah si Simon Leviev ini bisa dibilang di atas KKM (ahahah maksudnya di atas standar umum). Intinya ini pria ini super sempurna lah.
Sedikit Spoiler, kalau belum nonton skip dan nonton dulu ya. Kalo gak masalah silahkan hajar
Film diawali dengan perkenalan seorang perempuan yang mengaku sebagai tinder expert bernama Cecilie Fjellhøy, wanita asal Norwegia yang bekerja di bidang desain. Ia menceritakan bagaimana serunya mencari kekasih di Tinder, apalagi saat bertemu dengan ‘pria super sempurna’ seperti Simon Leviev. Tentu saja Cecilie ini membayangkan bagaimana hidupnya bakal berubah drastis ke arah jauh lebih baik mengingat dalam profil Tindernya Simon adalah taipan keturunan Israel, anak pengusaha berlian Lev Leviev dengan harta melimpah, plus semua fotonya sangat meyakinkan. Usai berkenalan, Simon lalu mengajak Cecilie berlibur menghabiskan waktu bersama seakan dunia milik berdua. Semua kemewahan pun Simon berikan untuk Cecilie, janji-janji cinta, keinginan hidup bersama, pokoknya semua yang manis. Sampai akhirnya Simon menceritakan bahwa hidupnya tak aman, ia mengaku dikejar musuh hingga membuatnya tak bisa mengakses kartu kredit. Modus penipuan pun dimulai, Simon memanfaatkan rasa cinta Cecilie untuk meminjami kartu kredit sampai memaksa Cecilie mengajukan pinjol. Tak ada kecurigaan, sampai kebohongan sedikit demi sedikit terkuak. Jujur saja, kalau di posisi wanita itu, saya mungkin juga akan percaya. Kalau mengikuti video-vidoenya dan chat-chat Simon, semua nampak sangat meyakinkan. Huhhhh naudzubillahh jangan sampai kena ginian.
Di lain tempat, korban lain muncul bernama Pernilla Sjöholm, sejenis lah sama Cecilie. Namun berbeda dengan Cecilie, Pernilla dan Simon hanya membangun hubungan sebagai teman. Meski begitu Simon tetap menjamu Pernilla bak seorang ratu dengan kemewahan tanpa tahu itu uang Cecilie, hingga pada titik Simon mulai meminjam uang. Atas dasar kemanusiaan dan pertemanan, Pernilla memberikan sejumlah pinjaman. Berbagai modus penipuan yang Simon lakukan mulai terbaca dan membuat Pernilla dan Cecilie akhirnya bersatu. Keduanya dibantu media Norwegia menguak modus kejahatan yang dilakukan Simon di berbagai negara. Dan ditemukan fakta banyak korban telah jatuh ke lubang yang dibuat Simon. Nama Simon makin dicari di Google, membuat korban-korbannya pun mulai menguak kejahatan yang dia lakukan.
Hingga akhirnya pacar terbaru Simon yang juga dikenalnya lewat Tinder, Ayleen Charlotte tahu dan berniat untuk membantu. Ayleen dan Simon menjalin hubungan cukup lama sekitar satu tahun. Ia pun mulai merancang masa depan bersama Simon dan memimpikan kehidupan mewah. Sampai akhirnya Simon mulai berbohong dan meminjam uang dalam jumlah banyak. Ayleen tahu tipu muslihat sang kekasih lewat media namun ia tak mau Simon lolos dan bebas menikmati uang-uang korbannya. Ayleen pun berusaha menjebak Simon hingga akhirnya ia ditangkap interpol. Di akhir dokumenter, diceritakan Simon yang memiliki nama asli Shimon Yehuda Yahut ditangkap dan dipenjara. Sayang hukumannya sangat ringan dibanding penderitaan yang korban rasakan. Di saat Simon bebas dan bisa kembali ke kehidupannya, ada banyak perempuan harus membayar hutang atas uang yang tidak mereka pakai.
Kalau dilihat dari 3 korban yang diangkat di dokumenter ini, semuanya adalah wanita matang yang punya duit. Jadi bukan wanita yang biasa aja banget.
Review film
Bukan tidak adil, saya kali ini tidak memberikan kelebihan kekurangan dari film ini. Misal pada beberapa adegan seperti menyelipkan footage rekayasa kencan romantis bersama Simon Leviev dengan visual yang artistik dicampur dengan footage asli dari dokumentasi pribadi dan hal-hal sejenis itu. Saya yakin pembaca ini sudah tau apa kelebihan kekurangannya. Yang saya bahas dari sini adalah bahwa film ini sangat menggambarkan keadaan yang terjadi sekarang di Indonesia bahkan di dunia dan ada banyak pelajaran berharga dari film ini.
Pertama, pelajaran bagi kita untuk bersikap
Ketika Cecilie Fjellhøy dan Pernilla Sjøholm memviralkan apa yang dilakukan Simon, ada yang menyebut keduanya bodoh bisa sampai tertipu hingga menyebutkan keduanya adalah perempuan materialistis. Butuh keberanian besar untuk mengekspos diri sendiri di media umum dan memang hanya ini pengorbanan yang bisa dilakukan agar tidak ada korban lagi dari roda kejahatan Simon walaupun pasti akan dihujat. Ya karena orang akan lebih berani untuk menghujat jika dirinya anonim atau tidak terlalu diketahui daripada melalui telefon atau ketemu langsung. Siapa yang salah disini? Tidak bisa kita langsung menentukan begitu saja mengingat sebenarnya sudah sewajarnya wanita itu tertarik kepada hal yang bersifat ‘kenikmatan duniawi’. Sebagai wanita normal, melakukan hal apapun untuk orang yang dicintai maupun sahabat dekat adalah sesuatu yang sebenarnya sudah sepatutnya untuk dilakukan. Bagi yang menyalahkan pun, sebenarnya wajar karena dengan mudah percaya kepada orang lain tanpa mengetahui latar belakangnya adalah tindakan sangat bodoh. Namun tidak sepantasnya kita menghakimi seperti itu sehingga kita harus mengetahui cerita sepenuhnya.
Setidaknya, dengan menonton “The Tinder Swindler”, kita akan diberi kesempatan untuk mendengarkan kesaksian dari setiap korban. Didukung dengan narasi cerita yang kronologis disertai berbagai bukti. Tidak bisa dipungkiri, modus penipuan dari Simon Leviev merupakan definisi dari penipuan kelas agen rahasia, semuanya dipersiapkan matang dan sempurna. Dari yang awalnya kita merasa “tidak mungkin lah saya bisa tertipu dengan begituan” lalu kita akan memahami bagaimana semuanya sangat terstruktur dan didukung dengan kemampuan manipulatif. Terlepas dari berbagai latar belakang hingga preferensi setiap korban, tindakan menyalahkan korban bukan reaksi pertama yang seharusnya kita lontarkan. Biasakan untuk mengetahui cerita lengkapnya sebelum menghakimi seseorang di media sosial. Jika kita malas untuk menyimak, lebih baik tidak mengeluarkan pendapat sama sekali yang justru menambah penderitaan bagi korban. Setelah menyimak pun, sebaiknya tangkap ini sebagai bahan pelajaran untuk kita dan orang yang kita sayangi, bukan sebagai bahan pelampiasan untuk menghujat. Kalau sampai kita ada keinginan menghujat dan ada kepuasan dari sana, mari mulai sadar diri apakah kita ada semacam gangguan jiwa.
Kedua, hal seperti ini sering terjadi di Indonesia
Metode yang dilakukan Simon ini sebenarnya sering dilakukan kok di Indonesia. Mulai yang banyak disadari orang terlebih dahulu saja, masih ingat iklan salah satu perusahaan yang katanya investasi? Yang itu lho “jutaan orang tidak menyadari”? Ya memang caranya sama. Orang memperlihatkan kemewahan-kemewahan lalu menyebarkan rahasianya bahwa dia kaya dari aplikasi investasi itu. Memang sih tujuannya untuk memikat orang tetapi caranya yang sangat jelek. Pada intinya, memframing orang atau bahkan diri menjadi orang kaya itu membuat ‘susuk’ alami yang bisa membuat orang tersebut lebih berwibawa, lebih dihormati, lebih dipercaya, lebih memiliki bargaining power dan pada akhirnya ada keuntungan besar yang didapat dari sana. Padahal kita tidak tau apakah orang tersebut memang kaya? Atau jangan-jangan semua harta tersebut hanya pinjaman atau hanya properti untuk melengkapi diri agar lebih meyakinkan?
Pada intinya, banyak orang terjebak dengan pameran kemewahan yang dilakukan oleh seseorang di media sosial sehingga fenomena ini banyak yang memanfaatkannya untuk kepentingan yang menguntungkan pribadi dan pihak tertentu. Pola yang serupa dilakukan akhir-akhir ini dimana pelakunya dalam hal ini adalah Influencer atau memanfaatkan Influencer sebagai bagian dari pola ini. Bagi sebagian orang, mereka akan bisa sekaya orang-orang ini ketika mereka mengikuti jejaknya.Pada akhirnya banyak orang yang silau mata melihat beberapa influencer yang bergaya hidup mewah mengajak orang bermain judi online yang berbalut trading. Ketika mereka kalah mereka meluapkan kekesalannya kepada influencer karena sudah mempromosikan judi online dan mereka terjebak. Para korban akhirnya melapor dan polisi katanya sedang menyelidiki apakah para influencer bagian dari kejahatan atau mereka hanya profesional yang dibayar sebagai brand ambassador saja. Salah satu orang namanya Indra Kenz menjadi bagian dari orang yang diincar untuk diperkarakan karena sering pamer kemewahan seolah dia adalah trader jagoan di salah satu situs judi berbalut investasi. Maka banyak orang yang mengikuti jejaknya yang justru rugi sampai miliaran rupiah. Menurut kabar sih, para influencer ini mendapat bagian 70% dari kekalahan orang yang diajaknya sehingga semakin banyak yang kalah maka semakin kaya si influencer.
Ketiga, ironi bahwa ternyata film dokumenter dan ‘people power’ punya dampak lebih besar daripada Institusi Hukum bahkan Hukum itu sendiri
Apa yang dilakukan Simon di film tersebut bagi aparat hukum tidak bisa dibilang sebagai kejahatan. Entahlah mungkin perlu ada kajian soal ini dari teman-teman yang ada di bidang hukum. Kita tau bahwa Simon sendiri masuk penjara bukan karena kasus menipu atau memeras Cecilie cs, tetapi karena pemalsuan dokumen yang jelas dapat dikategorikan sebagai kejahatan dan hukumannya pun sangat ringan. Ternyata setelah saya pelajari, hukum di negara-negara maju pun belym sampai mengatur ke arah sana. Selama bertahun-tahun, Simon Leviev diperlihatkan mampu melansungkan aksinya dengan modal pamer aset di Instagram dan profil Tinder-nya. Bahkan setelah Cecilie Fjellhøy berhasil melangsungkan investigasi dengan VG, Simon masih sempat menipu dua wanita lainnya yang akhirnya menjadi narasumber juga dalam film dokumenter ini. Hingga pada akhir dokumenter, setiap korban harus menanggung kerugian materi masing-masing. Sementara Simon sudah bebas dari hukuman penjara karena hukuman yang sangat ringan dan masih ada kemungkinan tetap melancarkan aksi penipuan karena dia merasa apa yang dilakukan “tidak bisa dianggap melakukan kejahatan” tadi.
Film ini lebih dari sekadar film dokumenter kriminal yang informatif, namun menjadi satu paket bukti tindak kriminal Simon Leviev agar keadilan segera ditegakan. Segala bentuk investigasi berskala global yang dilakukan oleh VG dan tiga korban dalam kisah ini, tidak sebanding dengan usaha kepolisian lokal karena dibatasi oleh budget dan kewenangan hukum negara. Meski pada akhirnya tidak berhasil mengembalikan kerugian yang dialami oleh setiap korban, tapi kita telah diberikan amat sangat banyak pelajaran dan kesadaran pada masyarakat luas. Tidak hanya di Indonesia ternyata yang sampai muncul tagar #percumalaporpolisi, di luar sana pun banyak yang menyatakan bahwa banyak kasus yang tidak akan mendapat keadilan sebelum diviralkan. Institusi penegak hukum harus mendapat tekanan publik terlebih dahulu agar bertindak.
Keempat, tidak hanya pelajaran soal ditipu ditipu. Simon Leviev ini punya mindset bisnis yang bagus andai tidak digunakan untuk menipu.
Author: Mahendrayana.st